Jakarta, Timohh News
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan 21 poin penting terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan penilaian parsial terhadap beberapa pasal UU Cipta Kerja baru yang diajukan Partai Buruh dan enam kandidat lainnya.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menanggapi dalil-dalil Pemohon mengenai persoalan konstitusional yang mengangkat tujuh persoalan pokok yang sebagian besar berkaitan dengan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak lagi berdasarkan izin kerja terbatas. (PKWT) Cuti keluar atau cuti, bayar, cuti dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berikut 21 poin penting putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Ketenagakerjaan baru:
Istilah “Negara Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 pada Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pembukaan Lapangan Kerja Baru akan diundangkan secara Hukum (Ph.D. Republik Indonesia Tahun 2023, Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856 adalah inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali jika diartikan sebagai “Menteri yang membidangi Ketenagakerjaan (Ketenagakerjaan) dalam hal Menteri Ketenagakerjaan.”
2. Deklarasi Pasal 42 Ayat 4 Pasal 81 Nomor 4 UU 6/2023 yang menyatakan “Tenaga kerja asing hanya boleh bekerja di Indonesia dalam suatu hubungan kerja pada jabatan dan waktu tertentu serta mempunyai kompetensi sesuai dengan jabatannya. Mereka akan menduduki” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum kecuali jika diartikan demikian “Tenaga asing hanya dapat dipekerjakan di Indonesia untuk jabatan dan waktu tertentu serta kompetensi sesuai dengan jabatan yang dipertimbangkan. Prioritas penggunaan tenaga kerja Indonesia.”
3. Menyatakan Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 Nomor 12 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa “jangka waktu tertentu atau pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditentukan berdasarkan kontrak kerja”. Bertentangan dengan UUD 1945, tidak ada kekuatan legislatif yang terlibat sampai ditafsirkan bahwa “jangka waktu penyelesaian suatu pekerjaan tertentu tidak boleh melebihi paling lama lima tahun, termasuk penundaan.”
4. Menyatakan Pasal 57 ayat 1 Pasal 81 Nomor 13 UU 6/2023 yang menyatakan “kontrak kerja tetap harus diakhiri secara tertulis dan menggunakan huruf Indonesia dan Latin”, bertentangan dengan UUD 1945. Konstitusi dan tidak Tidak ada undang-undang yang relevan. Diberlakukan sampai diartikan sebagai “Perjanjian” Jam kerja yang ditentukan harus dibuat secara tertulis dalam aksara Indonesia dan Latin “.
5. Menyatakan Pasal 64 ayat 2 berada pada Pasal 81 Angka 18 yang berbunyi, “Pemerintah menetapkan bagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1”. Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak ada kekuatan legislatif yang terlibat sehingga diartikan bahwa “Menteri menetapkan bagian-bagian pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sesuai dengan jenis dan bidang bagian luar yang disepakati dalam” A kontrak tertulis mengenai pelepasan sumber daya.”
6. Saya menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b Pasal 81 Nomor 25 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang menyatakan “satu hari cuti mingguan selama enam hari kerja dalam seminggu” adalah inkonstitusional tidak akan ada kekuatan hukum wajib kecuali jika diartikan sebagai “satu atau dua hari selama lima hari kerja per minggu.”
7. Kami menyatakan kata “boleh” dalam Pasal 79 ayat 5 dan Pasal 81 ayat 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8. Menyatakan Pasal 88 ayat 1 Pasal 81 Nomor 27 UU 6/2023 yang menyatakan “Setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak secara kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. mempunyai kekuatan hukum. Kecuali jika diartikan “termasuk penghasilan yang menunjang kehidupan, yang merupakan jumlah penerimaan atau penghasilan pekerja/pegawai dari hasil pekerjaannya. Mampu memenuhi kebutuhan hidup dasar pekerja/keluarganya meliputi makanan dan minuman, sandang, pendidikan, kesehatan, hiburan dan keamanan di hari tua.
9. Menetapkan Pasal 88 Ayat 2 Pasal 81 Nomor 27 UU 6/2023 yang menyatakan “Pemerintah pusat merumuskan kebijakan pengupahan dalam upaya mencapai hak pekerja untuk hidup bermartabat.” kemanusiaan ”melanggar hukum. UUD 1945 dan tidak ada kekuatan legislatif yang terlibat sehingga dimaknai sebagai “dimasukkannya dewan pengupahan daerah, yang mengikutsertakan unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan.” “Menjadi bahan penetapan pengupahan pemerintah pusat kebijakan.”
10. Kami menyatakan istilah “struktur dan skala gaji” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b Pasal 81 Nomor 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. proporsi dan besaran gaji”.
11. Menyatakan Pasal 88C Pasal 81, Pasal 28 UU Nomor 6 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga dimaknai “termasuk gubernur yang menetapkan upah minimum menurut sektor di Provinsi dan mungkin untuk kabupaten/kota”.
12. Menyatakan bahwa istilah “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat 2 Pasal 81 Nomor 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sampai dengan diundangkan merupakan variabel yang mewakili kontribusi lapangan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja, serta prinsip proporsional untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Bagi pekerja/karyawan.
13. Menyatakan istilah “dalam keadaan apa pun” dalam Pasal 88 F Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sampai dimaknai “Yang dimaksud dengan” dalam keadaan tertentu, termasuk antara lain bencana alam atau “kondisi tidak wajar, termasuk kondisi perekonomian global dan/atau perekonomian nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
14. Deklarasi Pasal 90A Pasal 81 Nomor 31 UU 6/2023 yang menyatakan “Upah yang melebihi upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/pegawai perusahaan” adalah bertentangan dengan tahun 1945. . Konstitusional dan tidak mengikat. Berkekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai, “Upah yang melebihi upah minimum ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau pekerja/serikat buruh di perusahaan.”
15. Menyatakan Pasal 92 ayat 1 pada Pasal 81 Nomor 33 UU 6/2023 yang menyatakan “Pengusaha mempunyai kewajiban mengatur struktur dan besaran upah dalam perusahaan dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas perusahaan.” Bertentangan dengan UUD 1945, tidak ada aparat penegak hukum yang terlibat hingga dimaknai sebagai “Pengusaha harus menetapkan struktur dan besaran upah di perusahaan, dengan mempertimbangkan kapasitas dan produktivitas perusahaan serta golongan. Jabatan, senioritas, pendidikan dan kemampuan.”
16. Pernyataan Pasal 95 ayat 3 Pasal 81 Nomor 36 UU 6/2023 yang menyatakan “hak-hak pekerja lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diutamakan untuk dibayar kepada seluruh kreditur kecuali hanya kreditur kebendaan saja. “Asuransi Hak-Hak” yang inkonstitusional UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali bila diartikan bahwa “hak-hak buruh yang lain dari alinea pertama mendapat prioritas dalam pembayarannya bagi kedua kreditur.” “Termasuk kreditor yang diistimewakan, kecuali kreditor yang memegang hak keamanan material.”
17. Menyatakan Pasal 98 Ayat 1 Pasal 81 No. 39 UU 6/2023 yang berbunyi, “Memberi nasihat dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengupahan dan mengembangkan sistem pengupahan a. Dewan Pengupahan dibentuk dengan cara yang “menjijikkan berdasarkan konstitusi tahun 1945 dan tidak memiliki yurisdiksi. Undang-undang ini mengikat kecuali jika ditafsirkan” untuk memberi nasihat dan mempertimbangkan pemerintah pusat atau daerah dalam pembentukannya. Kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan Dewan pengupahan dibentuk untuk berpartisipasi secara aktif .
18. Pernyataan “wajibnya perundingan bilateral antara pengusaha dan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh” dalam Pasal 151 ayat 3 Pasal 81 angka 40 UU 6/2023 adalah inkonstitusional sejak Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Paksaan sepanjang tidak dimaknai “harus dilakukan melalui perundingan bilateral yang disengaja untuk mencapai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh”.
19. Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja terjadi pada tahap selanjutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 ayat (40) UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945. Konstitusi tidak akan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kecuali dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan”. Melalui perundingan bilateral, sebagaimana dimaksud pada alinea ketiga, pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilaksanakan apabila telah diambil keputusan. oleh lembaga penyelesaian hubungan industrial yang keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap.”
20. Menyatakan ungkapan “dilakukan sampai berakhirnya tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkatnya” dalam Pasal 157A ayat 3 Pasal 81 Nomor 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945. Konstitusi tidak akan mempunyai kekuatan hukum sampai dimaknai bahwa “sampai berakhirnya tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan, kekuatan hukumnya tetap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kesehatan Masyarakat”.
21. Menyatakan bahwa ungkapan “dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat 2 Pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai “sekurang-kurangnya .”
(Tahun / Agustus)